welcome to zone blogger betawi bangor

zona umum untuk ajang kita berbagi ilmu

Sabtu, 24 Juli 2010

TAHAN MARAH MENGHADAPI ORANG AWAM

Memang, marah karena Allah termasuk hikmah. Bahkan, tanda keimanan seseorang pun ditandai dengan marah dan benci karena Allah. Yaitu, marah dan benci terhadap kekufuran, kebid’ahan dan kemaksiatan.

Tetapi bersabarlah! Kendalikan emosi. Siapa tahu mereka itu orang-orang bodoh yang membutuhkan pelajaran. Kalau itu yang terjadi, ajarilah mereka dengan lemah lembut!

Anas bin Malik radhiyallahu `anhu pernah mengatakan : “Aku pernah berjalan bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam saat beliau mengenakan jubah dari Najran yang kasar tepinya. Tiba-tiba datanglah seorang Arab gunung dan menarik jubah beliau secara keras. Akibat perbuatannya itu, aku melihat bekas tarikan tersebut pada sisi pundak beliau. Kemudian dia (orang Arab gunung itu) berucap : 'Wahai Muhammad, perintahkanlah, bahwa harta Allah yang ada padamu untukku.' Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melihat kepadanya dan tersenyum seraya memerintahkan untuk memberikan harta kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian pula sikap Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap seorang pemuda yang meminta ijin untuk berzina. Seperti diungkapkan Abu Umamah : “Sesungguhnya pernah ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku berzina.’ Saat itu, orang-orang yang ada di situ membentaknya seraya mengatakan, ‘Mah, mah!’ Sementara Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyuruh pemuda itu untuk mendekat. ‘Mendekatlah,’ ajak beliau. Pemuda itu pun mendekat. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bertanya, ‘Sukakah engkau kalau hal ini terjadi pada ibumu?’ ‘Tidak, demi Allah, aku sebagai jaminanmu,’ jawabnya. ‘Demikian pula halnya setiap manusia pasti tidak menyukai hal itu terjadi pada ibu-ibu mereka,’ jelas Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kepada pemuda itu. Kemudian beliau ajukan pertanyaan lagi, ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada anak perempuanmu?’ Ia Jawab, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan diriku sebagai jaminanmu’ Beliau jelaskan lagi, ‘Demikian pula manusia tidak menyukai hal itu terjadi pada anak perempuan mereka.’ Kemudian beliau tanya, ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada saudara perempuanmu?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan aku sebagai jaminanmu’ Lalu beliau bersabda, ‘Tidak pula manusia menyukai hal itu terjadi pada saudara-saudara perempuan mereka.’ ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (ammah / saudara perempuan bapak)?’ Tanya beliau kembali. Dijawabnya, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan aku sebagai jaminanmu’ Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam nyatakan, ‘Tidak pula manusia menyukai hal itu terjadi pada bibi mereka.’ Beliau berikan lagi pertanyaan, ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (khalah / saudara perempuan ibu)?’ Jawab pemuda itu, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan aku sebagai jaminanmu.’ Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menuturkan, ‘Tidak pula manusia menyukai hal itu terjadi pada bibi (khalah) mereka.’ ” Selanjutnya Abu Umamah menyatakan : “Maka Rasulullah meletakkan tangannya kepada pemuda itu seraya mengucapkan :

‘Ya Allah, ampunilah dosanya, bersihkanlah hatinya dan peliharalah kemaluannya.’ " (Kisah ini dinukil dari HR. Ahmad dan Thabrani, disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah no. 370)

Kelembutan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun ditunjukkan pula terhadap seorang Arab gunung lainnya yang kencing di masjid. Anas bin Malik mengisahkan : “Ketika kami berada di masjid bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang Arab kampung. Orang itu lantas berdiri dan kencing di masjid. Maka (bangkitlah) para shahabat Rasulullah membentaknya seraya membentak, ‘Mah, mah!’ Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam lantas mencegah para para sahabat sambil bersabda, ‘Jangan kalian putuskan kencingnya. Biarkan dia.’

Maka para shahabat pun membiarkannya sampai ia selesai. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memanggilnya dan menasehatinya, ‘Sesungguhnya masjid ini tidak patut sedikit pun untuk tempat buang air, (begitu pula) buang untuk kotoran. Masjid ini merupakan tempat untuk berdzikir kepada Allah, shalat dan membaca Al Qur’an.’

Kemudian beliau memerintahkan untuk mengambil seember air dan menyiramkannya.” (HR. Muslim)

Tidak hanya sampai di sini, kesabaran Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap orang-orang bodoh. Bahkan, dalam riwayat Bukhari masih berlanjut kisah orang Arab gunung tersebut. Yaitu, ketika Rasulullah dan para shahabat shalat bersamanya, maka orang tadi berdoa dalam shalatnya, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad dan janganlah engkau rahmati seorang pun selain kami."

Maka ketika selesai shalat beliau bersabda, "Sungguh engkau telah mempersempit yang luas."

Yang dimaksud adalah rahmat Allah yang luas.

Demikianlah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyikapi seorang yang memang bodoh, membutuhkan pengajaran dan pendidikan. Ketika orang Arab gunung itu setelah faqih (memahami agama) dia katakan, “Ayah dan ibuku sebagai jaminan. Sungguh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bangkit kepadaku tanpa mencela, menghardik atau pun memukulku.”

Selain itu kita juga dapati sifat ta`anni beliau shallallahu `alaihi wa sallam ketika para shahabat membentak si orang gunung tersebut. Beliau malah mengatakan, “Biarkan dia”. Hal itu karena beliau berfikir dan melihat sisi hikmah, yaitu jika dibentak dan diganggu ketika dia sedang buang air, akan membawa dampak negatif yang lebih banyak. Bisa jadi najis dari kencingnya akan berceceran di tempat yang lebih luas, atau najis itu bisa saja mengenai pakaiannya. Bahkan, justru akan menjadikan penyakit bagi orang tersebut karena menahan kencing dan lainnya.

Demikianlah semestinya sikap seorang mukmin, apalagi dia seorang da’i. Janganlah segera bersikap emosional, bersifatlah ta`anni. Perlakukanlah orang-orang awam dan jahil dengan sabar serta ajarilah mereka dengan lemah lembut.

Adapun orang-orang bodoh yang tidak mau mengerti perkataan orang, tinggalkanlah dan hindarilah dia dengan baik dan ucapkanlah ucapan yang baik. Allah berfirman dalam mengungkapkan sifat hamba-hamba-Nya :

“Hamba-hamba Allah yang Maha Rahman adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati. Jika orang-orang bodoh mengajak bicara mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan.” (Al-Furqan: 63)

Saat menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, “Yaitu jika orang-orang bodoh mengganggu mereka dengan ucapan yang jelek, mereka tidak membalasnya dengan yang semisal. Bahkan mereka memaafkan dan memaklumi serta tidak mengucapkan selain kebaikan semata. Sebagaimana Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak membalas kerasnya kejahilan seseorang melainkan dengan kelembutan yang amat sangat.”

Dikisahkan dalam sebuah riwayat, seorang mencela orang lain kemudian orang yang dicela tersebut mengatakan alaikas salam (semoga keselamatan atasmu). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang mendengar ucapan itu langsung menegur, “Ketahuilah, sesungguhnya malaikat (yang menyaksikan) di antara kalian berdua membelamu. Setiap dia mencelamu malaikat itu berkata, ‘Bahkan engkau! Engkau lebih berhak dengannya!’ Sedang ketika engkau mengucapkan kepadanya, 'alaikas salam,' malaikat itu berkata, ‘bahkan atasmu! Engkau lebih berhak dengannya.' " (HR. Ahmad 5 / 445, Kata Ibnu Katsir sanadnya hasan. Lihat Al-Hikmah hal. 61)

Dalam ayat lain, Allah juga memerintahkan berpaling dari orang-orang bodoh.

(Al A’raf:199)
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar